Orang yang sudah tua renta (sepuh) ketika tidak mampu berpuasa, maka ia tidak berpuasa. Setiap hari tidak puasa, hendaklah ia memberi makan (kepada orang miskin) seukuran satu mud. Adapun wanita hamil dan menyusui, jika mereka berdua khawatir pada dirinya, maka boleh tidak puasa dan mereka berdua punya kewajiban qodho'.
Ayatini menegaskan kepada kita bahwa tauhid tidak akan sempurna kecuali dengan dua syarat, yaitu : sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji
Nahdengan demikian kita bisa memahami bahwa airmata yang bisa menyelamatkan kita dari api neraka adalah airmata karena rasa takut kita kepada Allah. Seorang anak melihat ayahnya berpuasa senin kamis dan melaksanakan shalat jumat dan jama'ah tidak sama dengan anak yang melihat kebiasaan ayahnya nongkrong di kafe, diskotik, dan bioskop
Sedangkandalam ayat yang kedua (Al-Israa/17 : 31) Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin". Ini menunjukkan bahwa kemiskinan atau kefakiran belum datang kepada mereka (orang tua). Akan tetapi mereka takut hidup miskin atau fakir disebabkan adanya anak di masa mendatang.
Kitasebagai orang tua belum menjalankan sepenuhnya kewajiban yang harus kita lakukan kepada anak-anaknya. Kadang kita merasa bahwa dengan kita sudah memenuhi segala kebutuhan sandang-pangan-papan anak, itu semua sudah cukup ~padahal itu jauh dari kata cukup. Kita merasa sudah sepenuhnya menjalani tanggung jawab kita sebagai orang tua, karena
Iniadalah diantara hikmah terbesar dan paling agung dari puasa. Diantara tujuan puasa adalah agar seseorang mencapai tingkatan takwa sebagaimana firman Allah Ta'aala: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183).
Orangorang yang tidak takut kepada Allah ini merasa aman dari hukuman dan adzab Allah. Sehingga rasa aman itu membuat mereka enggan menunaikan ketaatan. Dan malah berbuat dosa dan kemungkaran. Mereka inilah yang Allah tantang dan ancam dalam firman-Nya, أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ.
orangyang usianya tua sudah lemah sehingga tidak mampu lagi untuk berpuasa, atu lemah bukan disebabkan usia tua tetapi karena pembawaannya. Orang ini boleh tidak puasa dan bagginya wajib membayar fidyah. Pembayaran fidyah ini dengan cara memberikan sedekah kepada fakir miskin untuk ukuran indonesia diperkirakan ¾ liter beras setiap hari [16].
Orangtersebut bisa saja lebih tua atau muda dari kita. Siapapun yang Tuhan pakai, kita harus mau mendengarkan kritik dari orang lain. 4. Bertobat. Lalu Daud memohon kepada Allah oleh karena anak itu, ia berpuasa dengan tekun dan apabila ia masuk ke dalam, semalam-malaman itu ia berbaring di tanah. 2 Samuel 12:16
Ibadahpuasa dan ibadah-ibadah lainnya mendidik kita untuk menjadi orang yang takut kepada Allah swt yang membuat kita akan selalu menyesuaikan diri dengan segala ketentuan-ketentuan-Nya. Kalau kita ukur dari sisi ini, kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali orang yang belum bertaqwa karena tidak ada rasa takutnya kepada Allah swt.
vsMMz. Pertama Orang sakit ketika sulit dimaksudkan sakit adalah seseorang yang mengidap penyakit yang membuatnya tidak lagi dikatakan sehat. Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum. Nanti ketika sembuh, dia diharuskan mengqodho’ puasanya menggantinya di hari lain. Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala,وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” QS. Al Baqarah 185Untuk orang sakit ada tiga kondisi[1]Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut keroncongan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” QS. An Nisa’ 29Apakah orang yang dalam kondisi sehat boleh tidak berpuasa karena jika berpuasa dia ditakutkan sakit?Boleh untuk tidak berpuasa bagi orang yang dalam kondisi sehat yang ditakutkan akan menderita sakit jika dia berpuasa. Karena orang ini dianggap seperti orang sakit yang jika berpuasa sakitnya akan bertambah parah atau akan bertambah lama sembuhnya. Allah Ta’ala berfirman,وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” QS. An Nisa’ 29يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” QS. Al Baqarah 185وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” QS. Al Hajj 78وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ“Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.”[2]Kedua Orang yang bersafar ketika sulit yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqoshor shalat dibolehkan untuk tidak dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” QS. Al Baqarah 185Apakah jika seorang musafir berpuasa, puasanya dianggap sah?Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu riwayat dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang menyatakan bahwa berpuasa ketika safar tidaklah sah dan tetap wajib mengqodho’. Ada yang mengatakan bahwa seperti ini pendapat mayoritas ulama lebih kuat sebagaimana dapat dilihat dari dalil-dalil yang nanti akan kami yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak?Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat kita katakan bahwa musafir ada tiga pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa. Dalil dari hal ini dapat kita lihat dalam hadits Jabir bin Abdillah. Jabir mengatakan,كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.[3] Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, di mana beliau masih tetap berpuasa ketika Abu Darda’, beliau berkata,خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَابْنِ رَوَاحَةَ“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”[4]Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa. Dari Jabir bin Abdillah, beliau berkata,أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah 8 H menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim suatu lembah antara Mekkah dan Madinah, orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.”[5] Nabi shallallahu alaihi wa sallam mencela keras seperti ini karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang waktu diperbolehkan tidak berpuasa bagi musafir?Dalam hal ini, kita mesti melihat beberapa keadaanPertama, jika safar dimulai sebelum terbit fajar atau ketika fajar sedang terbit dan dalam keadaan bersafar, lalu diniatkan untuk tidak berpuasa pada hari itu; untuk kondisi semacam ini diperbolehkan untuk tidak berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Alasannya, pada kondisi semacam ini sudah disebut musafir karena sudah adanya sebab yang memperbolehkan untuk tidak jika safar dilakukan setelah fajar atau sudah di waktu siang, maka menurut pendapat Imam Ahmad yang lain, juga pendapat Ishaq dan Al Hasan Al Bashri, dan pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, boleh berbuka tidak berpuasa di hari itu. Inilah pendapat yang lebih dari pendapat terakhir ini adalah keumuman firman Allah Ta’ala,وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” QS. Al Baqarah 185Dan juga hadits Jabir sebagaimana telah disebutkan di atas “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah 8 H menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim suatu lembah antara Mekkah dan Madinah, orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. …Begitu pula yang menguatkan hal ini adalah dari Muhammad bin Ka’ab. Dia mengatakan,أَتَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأَكَلَ فَقُلْتُ لَهُ سُنَّةٌ قَالَ سُنَّةٌ. ثُمَّ رَكِبَ.“Aku pernah mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan. Saat ini itu Anas juga ingin melakukan safar. Dia pun sudah mempersiapkan kendaraan dan sudah mengenakan pakaian untuk bersafar. Kemudian beliau meminta makanan, lantas beliau pun memakannya. Kemudian aku mengatakan pada Annas, “Apakah ini termasuk sunnah ajaran Nabi?” Beliau mengatakan, “Ini termasuk sunnah.” Lantas beliau pun berangkat dengan kendaraannya.”[6] Hadits ini merupakan dalil bahwa musafir boleh berbuka sebelum dia pergi jika berniat puasa padahal sedang bersafar, kemudian karena suatu sebab di tengah perjalanan berbuka, maka hal ini diperbolehkan. Alasannya adalah dalil yang telah kami sebutkan pada kondisi kedua dari hadits Abu Darda “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”[7]Kapan berakhirnya keringanan untuk tidak berpuasa bagi musafir?Berakhirnya keringanan rukhsoh bagi musafir untuk tidak berpuasa adalah dalam dua keadaan 1 ketika berniat untuk bermukim, dan 2 jika telah kembali ke orang yang bersafar tersebut kembali ke negerinya pada malam hari, maka keesokan harinya dia wajib berpuasa tanpa ada perselisihan ulama dalam hal apabila dia kembali pada siang hari, sedangkan sebelumnya tidak berpuasa, apakah ketika dia sampai di negerinya, dia jadi ikut berpuasa hingga berbuka?Untuk kasus yang satu ini ada dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat adalah dia tidak perlu menahan diri dari makan dan minum. Jadi boleh tidak berpuasa hingga waktu berbuka. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i dan Imam Malik. Terdapat perkataan yang shohih dari Ibnu Mas’ud,مَنْ أَكَلَ أَوَّلَ النَّهَارِ فَلْيَأْكُلْ آخِرَهُ“Barangsiapa yang makan di awal siang, maka makanlah pula di akhir siang.”[8] Jadi, jika di pagi harinya tidak berpuasa, maka di siang atau sore harinya pun tidak perlu berpuasa.[9]Ketiga Orang yang sudah tua rentah dan dalam keadaan lemah, juga orang sakit yang tidak kunjung ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho baginya. Menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya jika mereka tidak berpuasa membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” QS. Al Baqarah 184Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia disamakan dengan orang tua rentah yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.Ibnu Qudamah mengatakan, “Orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, maka dia boleh tidak berpuasa dan diganti dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Karena orang seperti ini disamakan dengan orang yang sudah tua.”[10]Keempat Wanita hamil dan antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ“Sesungguhnya Allah azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”[11]Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan Atho’. Ibnu Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”[12]Pendapat terkuat adalah pendapat yang menyatakan cukup mengqodho’ saja. Ada dua alasan yang bisa diberikan,Alasan pertama dari hadits Anas bin Malik, ia berkata,إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.”[13]Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan, “Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya ketika mereka berpuasa karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[14]Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang kedua Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja tanpa fidyah menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” QS. Al Baqarah 184Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka tidak puasa. Namun mereka punya kewajiban untuk mengqodho mengganti puasa di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah memberi makan kepada orang miskin untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’ mengganti puasa karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” QS. Al Baqarah 184[15]Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qodho’[16]. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untukk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.[17]Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”[18]Penulis Muhammad Abduh TuasikalArtikel Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/118-120.[2] HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337, dari Abu Hurairah.[3] HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115.[4] HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122.[5] HR. Muslim no. 1114.[6] HR. Tirmidzi no. 799. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih[7] HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122[8] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnaf-nya 2/286. Abu Malik mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.[9] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/120-125.[10] Al Mughni, 4/396.[11] HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.[12] Ahkamul Qur’an, 1/224. Lihat pula Bidayatul Mujtahid hal. 276 dan Shahih Fiqh Sunnah 2/125-126.[13] HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.[14] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224[15] Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15/225[16] Wanita yang dalam kondisi semacam ini menunaikan qodho’ di saat dia mampu. Jika sampai dua tahun ditunda karena masih butuh waktu untuk menyusui, maka tidak mengapa dia tunda qodho’nya sampai dia mampu.[17] Lihat Panduan Ibadah Wanita Hamil, hal. 46.[18] Ahkamul Qur’an, Al Jashshosh, 1/223.
Rasa takut pada anak merupakan hal yang wajar, karena ia menemukan beragam hal baru. Sebagai orangtua, Anda harus membantu anak melawan rasa takut tersebut. Namun, bagaimana bila anak takut pada orangtua sendiri? Hal ini bisa terjadi karena sikap yang ditunjukkan orangtua. Tidak jarang, hal ini sengaja dilakukan agar anak bersikap patuh. Tepatkah hal ini dilakukan orangtua atau lebih baik menumbuhkan rasa hormat pada orang tua? Apa yang terjadi bila anak takut orangtua? Jim Taylor dari University of San Fransisco mengatakan, ketakutan yang ditanamkan pada anak hanya akan memberikan efek jangka pendek. Pada saat hal ini diterapkan, anak mungkin akan mematuhi apa yang orangtua inginkan. Namun perlu diketahui, ketakutan anak pada orangtua akan memberi efek buruk untuk jangka panjang. Rasa takut tersebut bisa menimbulkan stres, rasa tidak aman, kecemasan, dan sejumlah masalah psikologis, emosional, dan fisik lainnya. Ditambah lagi, anak dengan kondisi ini akan menerapkan hal yang sama saat dia menjadi orangtua nantinya. Anak pun cenderung berbohong untuk menghindari kemarahan mereka. Selain pada keluarga, kondisi ini juga bisa berdampak negatif pada anak di lingkungan sosialnya. Sebagai contoh, anak yang dibesarkan dengan emosi dan ketakutan bisa menggunakan cara yang sama dalam berinteraksi dengan temannya. Parahnya, anak bisa bersikap mengintimidasi bullying terhadap anak lain. Mendidik anak agar hormat pada orangtua, bukan merasa takut Menanamkan rasa takut dan hormat respect pada anak terhadap orangtua merupakan dua hal yang berbeda. Rasa takut berarti dipaksa, sementara hormat bisa didapat tanpa paksaan. Dengan tumbuhnya rasa hormat, anak akan senantiasa mendatangi orangtua bila membutuhkan bantuan, nasihat, atau dorongan, bahkan hingga mereka dewasa nanti.
Khutbah Pertama إنّ الحمد لله ؛ نحمده ونستعينه ونستغفره ونتوب إليه ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا , من يهده الله فلا مضل له ، ومن يضلل فلا هادي له ، وأشهد أن لا إلـٰه إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أنّ محمّدًا عبده ورسوله وصفيه وخليله وأمينه على وحيه ومُبلِّغ الناس شرعَه ؛ فصلوات الله وسلامه عليه وعلى آله وصحبه أجمعين . أمّا بعد معاشرَ المؤمنين عبَادَ الله Ayyuhal muslimun, Aisyah radhiallahu anhu pernah bertanya kepada Nabi ﷺ tentang ayat وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, karena mereka tahu bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” QSAl-Mu’minuun Ayat 60. Ketika Rasulullah ﷺ membacakan ayat di atas, Aisyah radhiyallahu anhuma bertanya, “Apakah mereka adalah orang-orang yang minum khamr dan mencuri?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Tidak wahai putri ash-Shiddiq. Mereka itu adalah yang melakukan ibadah shaum, shalat, dan bersedekah, namun mereka takut jika amalan mereka tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla. Mereka itu adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam segala kebaikan dan mereka selalu menjadi yang terdepan.” Shahih Sunan at-Tirmidzi no 3175, Shahih Sunan Ibnu Majah no 4198. Dalam hadits yang mulia ini, Nabi ﷺ menjelaskan tentang sekelompok orang-orang yang beriman. Mereka mengerjakan banyak ketaatan. Mereka melaksanakan ibadah-ibadah yang dicintai Allah Ta’ala. Bersamaan dengan itu, bersamaan dengan keikhlasan mereka, mereka takut kalau Allah tidak menerima amalan-amalan ketaatan itu. Ayyuhal muslimin, Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala memuji orang-orang yang takut kepada-Nya dalam banyak ayat. Dia berfirman, إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka.” QSAl-Anfaal Ayat 2. Ketika Allah memuji orang-orang yang takut kepada-Nya, artinya Dia mencela orang-orang yang melakukan hal sebaliknya. Orang-orang yang tidak takut kepada Allah ini merasa aman dari hukuman dan adzab Allah. Sehingga rasa aman itu membuat mereka enggan menunaikan ketaatan. Dan malah berbuat dosa dan kemungkaran. Mereka inilah yang Allah tantang dan ancam dalam firman-Nya, أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ. أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ. أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ. “Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah yang tidak terduga-duga? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” QSAl-A’raf Ayat 97-99. Orang yang paling takut kepada Allah Ta’ala adalah mereka yang paling mengenal-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, yang paling takut kepada Allah Ta’ala adalah para malaikat, para nabi, dan para ulama. Nabi ﷺ bersabda tentang bagaimana takutnya para malaikat kepada Rabb mereka. Beliau ﷺ menceritakan, مررتُ ليلة أسري بي بالملأ الأعلى وجبريل كالحِلس البالي من خشية الله تعالى “Ketika malam isra’, aku melewati penghuni langit dan malaikat Jibril. Mereka seolah-olah seperti alas pelana yang tua-usang bersujud karena takut kepada Allah.” HR. Thabrani di Al-Ausath 5/64. Nabi ﷺ bersabda, إِنِّي أَرَى مَا لَا تَرَوْنَ، وَأَسْمَعُ مَا لَا تَسْمَعُونَ أَطَّتِ السَّمَاءُ، وَحُقَّ لَهَا أَنْ تَئِطَّ مَا فِيهَا مَوْضِعُ أَرْبَعِ أَصَابِعَ إِلَّا وَمَلَكٌ وَاضِعٌ جَبْهَتَهُ سَاجِدًا لِلَّهِ، وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا، وَمَا تَلَذَّذْتُمْ بِالنِّسَاءِ عَلَى الْفُرُشِ، وَلَخَرَجْتُمْ إِلَى الصُّعُدَاتِ تَجْأَرُونَ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَلَوَدِدْتُ أَنِّي شَجَرَةٌ تُعْضَدُ “Sesungguhnya aku melihat apa yang tidak kalian lihat. Aku mendengar sesuatu yang tidak kalian dengar. Langit merintih… dan layak baginya untuk merintih. Tidak ada satu ruang selebar 4 jari, kecuali di sana ada malaikat yang sedang meletakkan dahinya, bersujud kepada Allah. Demi Allah, andaikan kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan sering menangis. Serta kalian juga akan sedikit bermesraan dengan istri-istri di atas ranjang. Sungguh, kalian pasti akan keluar ke jalan-jalan untuk meminta kepada Allah Azza wa Jalla dengan berteriak-teriak. Aku berharap kalaulah aku hanya sebuah pohon yang terpotong.” HR. Ahmad 21516, Turmudzi 2312. Allah Ta’ala memuji orang-orang yang takut kepada-Nya, padahal mereka tidak melihat-Nya إِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَٰنَ بِالْغَيْبِ ۖ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ “Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihatnya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.” QSYaa Siin Ayat 11. Nabi ﷺ memberi kabar gembira kepada orang-orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan sepi maupun ramai. Beliau ﷺ bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ…وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya… di antaranya …seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” HR. al-Bukhari, Muslim, dan selainnya. Dia menangis karena takut keapda Allah. Ada beberapa jenis ketakutan kepada Allah. Ada yang takut kepada Allah hingga ia khawatir termasuk orang yang munafik. Sebagaimana kata Ibnu Abu Mulaikah rahimahulla Ta’ala أَدْرَكْتُ ثَلاَثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ . “Aku telah mendapati 30 orang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, semuanya khawatir pada dirinya tertimpa kemunafikan.” HR. Bukhari no. 36 Bagaimana tidak? Lihatlah apa yang terjadi pada Umar bin al-Khattab yang telah dijamin masuk surga. Ketika Umar bin al-Khattab mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ menyampaikan secara rahasia nama orang-orang munafik kepada Hudzaifah ibnul Yamaan –suatu rahasia yang tidak diberitahukan kepada sahabat yang lain selain Hudzaifah– ia segera menemui Hudzaifah. Sambil berharap, ia berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah, mohon engkau jawab, apakah aku termasuk orang munafik?” Karena kasihan melihat Umar ibnul Khaththab, Hudzaifah menjawab, “Tidak, tapi aku tidak bisa menjamin seorang pun selainmu.” Hal itu ia katakan agar ia tidak menyebarkan rahasia yang telah diamanahkan Rasulullah ﷺ kepadanya. Di antara contoh orang-orang yang takut kepada Allah juga adalah mereka yang takut ilmunya tidak melahirkan amal. Dalam pepatah dikatakn, اَلْعَالِمُ بِعِلْمِهِ لَمْ يَعْمَلَنْ، مُعَذَّبٌ مِنْ قَبْلِ عُبَّادِ الْوَثَنِ “Orang berilmu yang tak mengamalkan ilmunya, akan disiksa sebelum para penyembah berhala diazab.” Lihatlah sahabat Nabi ﷺ, Abu Darda radhiallahu anhu, ia berkata, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas diriku adalah ketika aku ditanya Kamu orang mengetahui atau yang tidak tahu?’ Orang yang tahu’, jawabku. Tidak ada satu pun ayat di dalam Kitabullah, yang memerintah atau melarang, kecuali ia akan datang kepadaku dan bertanya tentang penunaiannya. Ayat yang berisikan perintah akan berkata padaku, Bukankah engkau telah diperintahkan?’ sedangkan ayat yang melarang akan berkata, “Bukankah kau sudah dilarang?’ Kemudian Abu Dzar membaca doa اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْمَعُ Ya Allah Azza wa Jalla , aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dan dari jiwa yang tidak pernah merasa kenyang, serta dari doa yang tidak didengar.” Contoh lain yang merupakan profil seseorang yang takut kepada Allah adalah seseorang yang takut akan dosa-dosa yang ia lakukan. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu mengatakan, إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ قَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ “Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya –begini-, maka lalat itu terbang.” HR. at-Tirmidzi, no. 2497 dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullah. Orang-orang yang fajir tidak memandang dosanya itu banyak. Bahkan ia tidak memandang bahwasanya dosa yang ia lakukan adalah perbuatan dosa. Demikianlah keadaan seorang mukmin yang takut kepada Allah. Contoh lainnya adalah seseorang yang takut kalau dosanya akan menghalanginya dari husnul khotimah. Karena seorang mukmin selalu memikirkan bagaimana akhir hayatnya. Apakah akhir hayatnya itu baik? Apakah saat Allah Subhanahu wa Ta’ala mencabut ruhnya, ia berada dalam ketaatan? Apakah saat ruhnya keluar ia sedang berpuasa, atau sedang bersujud, atau sedang rukuk, atau sedang berhaji, umrah, atau sedang membaca Kitabullah Ta’ala? Ataukah ruhnya keluar saat ia sedang berbuat maksiat? Setan berhasil menggodanya di akhir hayatnya sehingga ia kelua menuju kekufuran atau kemasiatan. Semoga Allah melindungi kita dari yang demikian. Oleh karena itu, Nabi ﷺ mengajarkan kita agar banyak-banyak membaca doa يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ “Wahat Dzat yang membolak-balikan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu. Wahat Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk selalu taat kepada-Mu.” بارك الله لي ولكم في القرآن الكريم ، ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذِّكر الحكيم . أقول هـٰذا القول ، وأستغفر الله لي ولكم ولسائر المسلمين من كلِّ ذنب فاستغفروه يغفر لكم إنّه هو الغفور الرّحيم . Khutbah Kedua الحمد لله عظيم الإحسان واسع الفضل والجود والامتنان ، وأشهد أن لا إلـٰه إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله وسلم عليه وعلى آله وصحبه أجمعين . أمّا بعد عباد الله اتقوا الله تعالى ، Ayyuhal muslimun, Sesungguhnya seorang mukmin dalam kehidupan dunia ini harus hidup dengan perasaan harap dan takut. Tidak boleh rasa takutnya kepada Allah lebih dominan dibanding rasa harapnya sehingga ia berputus asa dari rahmat Allah. Demikian juga, tidak boleh rasa harapnya yang lebih dominan dari rasa takut sehingga ia seperti orang-orang murjiah. Yaitu mereka yang mengatakan, Dosa itu tidak mempengaruhi keimanan’. Seorang beriman yang sejati adalah mereka yang hidup di dunia ini dengan keadaan takut dan harapnya seimbang. Kecuali saat mereka mendekati kematian, maka rasa harapnya kepada Allah harus lebih dominan dari rasa takutnya. Nabi ﷺ bersabda, لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ “Janganlah salah seorang di antara kalian mati melainkan ia harus berhusnu zhon pada Allah” HR. Muslim no. 2877. Demikianlah yang terjadi pada sahabat Muadz bin Jabal radhiallahu anhu. Saat menjelang kematiannya, ia mengatakan, اللَّهُمَّ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَخَافُكَ ، فَأَنَا الْيَوْمَ أَرْجُوكَ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أُحِبُّ الدُّنْيَا وَطُولَ الْبَقَاءِ فِيهَا لِكَرْيِ الأَنْهَارِ وَلا لِغَرْسِ الشَّجَرِ ، وَلَكِنْ لِظَمَأِ الْهَوَاجِرِ وَمُكَابَدَةِ السَّاعَاتِ وَمُزَاحَمَةِ الْعُلَمَاءِ بِالرُّكَبِ عِنْدَ حِلَقِ الذِّكْرِ “Ya Rabbi, dulu aku takut kepada-Mu. Namun pada hari ini aku berharap kepada-Mu. Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak mencintai dunia dan panjang usia di dalamnya untuk menikmati mengalirnya sungai-sungai, tidak pula karena ingin menanam pohon-pohon. Akan tetapi aku hanya ingin merasakan dahaga karena berpuasa di panas yang terik, mengisi saat demi saat dengan bergaul bersama orang-orang ulama, dan menghadiri halaqah-halaqah ilmu.” az-Zuhd oleh Imam Ahmad. Alasan Muadz tinggal di dunia bukan karena mencintai perhiasan dunnia. Tapi ia ingin berpuasa di dalamnya, bergaul dengan orang-orang shaleh, dan menghadiri majelis ilmu. Nabi ﷺ pernah mendatangi seorang pemuda yang dalam keadaan sakaratul maut. Kemudian Beliau bertanya, “Bagaimana engkau menjumpai dirimu?” Dia menjawab, “Wahai, Rasulullah! Demi Allah, aku hanya berharap kepada Allah, dan aku takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah bersabda لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ “Tidaklah berkumpul dua hal ini yaitu takut dan harap di dalam hati seseorang, dalam kondisi seperti ini, kecuali pasti Allah akan berikan dari harapannya dan Allah berikan rasa aman dari ketakutannya.” HR. at-Turmudzi. Ayyuhal muslimun, Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Takutlah kepadanya dengan takut yang hakiki. Karena rasa takut kepada Allah akan mendorong seseorang melakukan berbagai ketaatan. Menjauhkannya dari berbagai maksiat dan dosa. Khotib memohon kepada Allah, agar Dia memberikan kepada saya dan Anda sekalian rasa takut kepada-Nya baik dalam keadaan sepi maupun dilihat orang lain. عباد الله يقول الله جلّ وعلا ﴿ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب٥٦] ، ويقول عَلَيْه الصَّلاةُ وَالسَّلامُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا . اللهم صلِّ على محمد وعلى آل محمد كما صلّيت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنّك حميد مجيد ، وبارك على محمد وعلى آل محمد، كما باركت على إبراهيم وآل إبراهيم إنّك حميد مجيد . وارض اللّٰهم عن الخلفاء الراشدين الأئمة المهديين ؛ أبي بكر الصديق ، وعمر الفاروق ، وعثمان ذي النُّورين ، وأبي الحسنين عليّ ، وارض اللّٰهم عن الصَّحابة أجمعين وعن التَّابعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدِّين وعنّا معهم بمَنِّك وكرمك وإحسانك يا أكرم الأكرمين. اللّٰهم أعزّ الإسلام والمسلمين ، وأذل الشرك والمشركين ، ودمِّر أعداء الدين ، واحم حوزة الدين يا رب العالمين. اللّٰهم آمنا في أوطاننا وأصلح أئمتنا وولاة أمورنا , اللّٰهم من أرادنا أو أراد بلادنا أو أراد مقدّساتنا أو أراد ولاة أمرنا وعلماءنا بسوء فأشغله في نفسه ، ورُدَّ كيده في نحره يا ذا الجلال والإكرام . اللّٰهم وفِّق وليَّ أمرنا لهُداك ، واجعل عمله في رضاك ، وأعنه على طاعتك يا حي يا قيوم. اللّٰهم آت نفوسنا تقواها ، زكِّها أنت خير من زكاها ، أنت وليها ومولاها ، اللّٰهم زيِّنا بزينة الإيمان واجعلنا هداةً مهتدين. اللّٰهم أصلح لنا ديننا الذي هو عصمة أمرنا ، وأصلح لنا دنيانا التي فيها معاشُنا ، وأصلح لنا آخرتنا التي فيها معادنا ، واجعل الحياة زيادة لنا في كل خير ، والموت راحة لنا من كل شر. اللّٰهم أصلح ذات بيننا ، وألِّف بين قلوبنا ، واهدنا سُبل السلام ، وأخرجنا من الظلمات إلى النور ، وبارك لنا في أسماعنا وأبصارنا وأزواجنا وذرّيّاتنا وأموالنا وأوقاتنا واجعلنا مباركين أينما كنا. اللّٰهم اغفر لنا ولوالدينا ولمشايخنا وللمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات ، ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار . عباد الله اذكروا الله يذكركم ، واشكروه على نعمه يزدكم ، وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ Oleh tim Artikel